
Di rak buku toko itu, Bacul dan Dzul Ndablek hanya bisa memandangi kavernya. Terlihat buku itu tebal, terbungkus plastik, dan harganya untuk ukuran kami cukup mahal. Kami selalu kecewa setelah keluar dari toko buku itu. Saat ini, mereka memang bukan seorang Mahasiswa, biarpun begitu mereka tidak pernah menjadikan keadaan sebagai penghalang untuk belajar. Kapanpun, dimanapun, mereka bisa menjadi guru untuk diri mereka dan bukan hanya mereka tetapi setiap siapapun yang mereka jumpai bisa menjadi guru.
Dalam sebuah perjalanan menuju masjid, tampak mereka berdua saling bertukar koran yang dibelinya. Memperoleh informasi sudah sama kedudukannya seperti mandi, makan nasi atau kerokan. Orang makin maju, tidak mungkin berjalan kebelakang. Dulu orang cukup nguping, rerasan sana sini.
Budaya rerasan itu lantas dilembagakan, dicanggihkan, dalam maksud yang positif. Koran jual berita seperti menjual mendoan. Maka semoga berita yang dijual koran selalu makanan ‘objektif’, sehat bergizi, gurih, tidak dilatarbelakangi oleh subjektivitas kelompok ini itu yang bisa bikin mencret. Meskipun demikian, orang toh sudah terbiasa jajan diwarung yang makananya tidak terlindungi dari debu dan lalat.
Dari belakang muncul lah amal dan poltak samijo yang mendahului mereka untuk sama-sama berjalan ke masjid. Amal menyatakan bahwa dia paling suka berita kriminal, humor dan iklan. Yang paling tidak disukainya adalah kutipan pidato, pejabat ini bilang begini, sementara sarjana itu bilang begitu.
Bahasanya canggih, istilah-istilahnya ningrat. Seperti roti yang turun dari planet, sukar dikunyah, dan tak jelas rasanya.
Apa tho Kapitalisme itu? amal meneyeletuk dengan susunan bunyi yang terbata.
Oo, itu bangsa Sosialisme atau apa itu. kata poltak samijo.
Omong-omong Poltak Samijo dan Amal menjadi mandek. Kemudian Bacul coba memancing keadaan “Siapa ini yang mau menjelaskan?,”kata bacul.
Dzul Ndablek, merasa punya kesempatan untuk menjadi dosen. Maklumlah Dzul ini mustahil jadi dosen. Dzul bilang, kapitalisme ialah orang yang mengatakan: “Punyaku ya punyaku, punyamu ya punyaku..”
Ada prinsip Ekonomi: dengan modal serendah-rendahnya, kita peroleh hasil setinggi-tingginya. Itu sebuah sikap mental yang mimpi idealnya adalah: tanpa modal, kita peroleh semua. Maka adanya monopoli, tatanan sentral-periferi, jurang kaya miskin, akan berlangsung dengan sendirinya meskipun diselenggarakan aturan main untk mengontrolnya.
Sosialisme itu sebaliknya:”Punyaku itu punyamu, punyamu itu punyaku.” Meskipun demikian banyak di negeri sosialis, rakyat bilang,”punyaku punyamu, punyamu punyamu”. Sementara para penguasa berbisik-bisik dalam hatinya, “Punyamu punyaku, punyaku punyaku”.
Lha lantas ada suara Bacul bilang: Tak ada punyamu, tak ada punyaku. Yang punya hanya Tuhan. Milik itu hanya wewenang Tuhan. Ku itu tak ada kecuali Tuhan. Ku lainnya itu pinjaman. Tapi siapa percaya kata-kata ini?
“Ada,” kata Dzul Ndablek. Hati kecil semua manusia. Hati kecil kita. Tetapi hidup kita tidak mengandung keberanian untuk meyakini dan melaksanakannya. Maklumlah, lha Wong kita.
(by: karyadi bacuel)