Selasa, 07 Juni 2011

Mawar Putih di Malam Kenduri Cinta

Langit kelam membentang di depan mata



Ketika di bus transjakarta saya teringat seorang sahabat yaitu Agus Suhendi yang akan pergi bertolak meninggalkan pulau jawa menuju Riau. Memang jaraknya tidak terlalu jauh kalau ditempuh dengan pesawat terbang, tapi untuk ukuran saya, Fadil Setyanegara, Andri Setiawan, Zulkarnain menjadi sangat jauh karena terbiasa prihatin dulu bung baru prihatin kemudian, jalan kaki dulu bung, baru setelah itu beli pesawat dan selanjutnya kita wakafkan untuk kepentingan umum. Karena itu jangan heran diantara kami berenam tidak ada yang memiliki pacar bernama CAMELIA, kendaraaan andalannya aja Jalan Kaki. Insya Allah tradisi jalan kaki tidak akan ditinggalkan sampai nanti..



Momentum kepergiannya esok hari, saya jadikan ritual khusus untuk berkenduri cinta bersama. Di perjalanan segera saya kirim pesan singkat,”Gus kita ke citas yuk?”. CITAS (Citra Rasa Nusantara) warung penjual makanan yang kami juluki warung gua hira. Warung itu memberi kenangan tersendiri untuk kami ketika merasakan pendidikan di SMA. Kami sering memberi makanan dengan uang yang kami kumpulkan sebesar 1000 rupiah dari enam orang(sepertinya kelebihan deh, empat orang yang benar). Uang tersebut selanjutnya kami tukarkan dengan sebungkus makanan di CITAS. Jadilah makanan tersebut sebagai santapan di siang atau sore hari setelah memacu otak jenius melebihi kecepatan cahaya yang menguras kalori. Satu bungkus makanan untuk rakyat banyak. Ooooh inilah salah satu sikap kesuksesan yang kami lakukan. Satu makanan untuk dua orang, dua makanan untuk empat orang, dst. CAMELIA zaman sekarang mah maunya makan Hoka-Hoki Bento (itupun kalau hoki mendapatkan pacar tajir), mana mau masakan warteg. Jadi jangan heran lagi kalau diantara kami tidak ada pacar yang bernama CAMELIA, kalau isteri yang berperilaku Wanita Langit Insya Allah akan kami miliki setelah meminta izin kepada Allah yang memilikinya.



Ternyata yang bisa menghadiri ritual ini hanya saya, Fadil, dan Agus. Teman kami yang lain masih ada di kampung yang luas halamannya tidak saya ketahui dan juga masih ada yang sudah mulai menyibukan diri.



Fadil dan Agus sudah sampai di CITAS. Mereka berdua sudah menunggu kedatangan saya. Maaf saya terlambat tolong dimaafkan bus yang saya tumpangi berjalan tidak sesuai keinginan saya. Jadi agak lama sampai rumah.



Sampailah saya di CITAS dan ternyata senyata-nyatanya saya melihat warung CITAS sudah tutup. Saya dan Fadil tidak kehilangan akal, segera kita susun rencana untuk mengantarkan teman saya ini untuk bertemu orang yang katanya ia merasa bersalah kepadanya, mungkin sajak ini bisa mewakilinya:



Perasaan bersalah tiba-tiba berubah

menjadi cinta yang tergesa hendak disampaikan

Dan ungkapan maaf

menjelma menjadi kekasih paling cantik

yang tak jemu kita rindukan.



Begitulah gambarannya, selanjutnya saya berikan saran untuk mendatangi rumah orang tersebut dan berikan setangkai mawar putih untuk persaudaraan. Fadil pun mendadak menjadi motivator ulung kepada Agus untuk tidak ragu-ragu melakukannya. Akhirnya Agus mengikuti arus kekuatan kami berdua. Maaf Gus tidak ada rencana khusus dari kami untuk ini semua....hehehehe



Kami bertiga bergegas menuju toko bunga. Sejujurnya saya tidak tahu letak toko bunga. Kami berjalan dengan arah dan tujuan yang masih samar-samar. Karena tujuan kami malam itu untuk kebaikan, maka kendaraan kami ditunjuki jalan yang benar yaitu berhenti tanpa sengaja tepat di depan toko bunga.



Bunga mawar putih kini ada digenggaman Agus. Kami bertiga bergerak menuju rumah orang yang disebut Suadara Agus. Karena ada kendala yang tidak bisa saya sebutkan disini, maka upacara penyerahan bunga dibatalkan sementara waktu, padahal Saudara Agus sudah berlatih untuk bercakap-cakap dan sudah melatih diksi yang akan disuarakan.



Sebenarnya mawar putih yang diberi saudara Agus adalah hasil dari manajemen kami berdua, Saya dan Fadil. Manajemen itu bukan berarti memiliki uang kemudian dapat membeli bunga. Manajemen adalah tidak punya uang tapi sanggup membelikan bunga. Tidak sia-sia perjalanan saya,Fadil Setyanegara, dan Andri Yusuf Setiawan ke Yogyakarta untuk menguji ilmu manajemen dalam rangka mendapatkan gelar Ph.G(Pengusaha Gila).



Bunga itu memang seharusnya untuk suadara Agus sebagai kenduri cinta kita semua sebagai wujud indahnya kemesraan bersama. Itu persembahan kami untuk anda Gus, Mawar Putih dari kami, pakai uangmu dan untukmu. Simpan baik-baik satu waktu akan berguna.



Sebelum kami pulang kita bernarsis duka pada malam jumat (16 Agustus 2010). Untuk bernarsis duka kami membutuhkan satu orang untuk mengabadikan malam kenduri cinta kita bersama. Segera kami menuju rumah Zulkarnain, kata orang sih Sahabat saya yang satu ini mirip dengan Ridho Roma Biskuit Kelapa, itu juga kata dia-kata orang. Mirip apapun dan siapapun tidak penting yang penting kami dapat memanusiakan manusia dan menghadirkan Cinta Rasulullah dan Allah dalam kebersamaan.









Selesai sudah malam kemesraan kita. Kami akhirnya berjalan beriringan dan selanjutnya berjalan menuju ke rumah masing-masing.





Dan detik- detik perpisahan saya dengan saudara Agus, spontan saya menyiapkan hadiah. Saya periksa saku-saku baju dan celana. Sebuah pulpen yang saya bawa dari rumah tanpa sengaja akhirnya menjadi hadiah sederhana. Segera saya berikan kepadanya sambil memacu kendaraan menuju kendaraan yang digunakan saudara Agus. Tepat di perempatan lampu merah Srengseng, saya ulurkan tangan saya untuk memberikan pulpen tersebut.



Hadiah sederhana itu tentunya memiliki filosofi tersendiri buat saya dan anda Saudara Agus. Ingatan kita memiliki batas yang suatu saat akan luntur tapi goresan ingatan di atas kertas akan menjadi ingatan untuk generasi selanjutnya.

Karyadi Djayadrata

0 komentar:

Posting Komentar